SAYANG DAN CINTA TAK PERNAH BICARA
(AYAH)
Matahari masih malu menampakkan wajahnya, tapi suara panggilan untuk beribadah mulai bersahutan di telingaku, tapi aku masih bergeming dengan keadaanku, guling kupeluk erat, selimut kupasang menutupi seluruh tubuhku, aku lupa kapan terakhir kali aku menghadapNya, sekilas terdengar percakapan antara ibu dan ayah.
“Bu, Chandra mana???”, Suara ayah terdengar begitu lembut, ya, ayahku adalah sosok tua yang terkesan begitu tak berwibawa dimataku, beliau hanya seorang pensiunan buruh pabrik tas yang hanya berijazah paket B, setara SMP.
“Itu di kamar, masih tidur pak, kenapa tho???, biarin aja, tadi dia baru pulang jam 2 kok pak.”,suara ibuku tampak kesal dan tak begitu peduli dengan maksud ayahku.
“Bukannya gitu bu, bangunin dia, suruh sholat, sudah baligh kan dia??”
“Opo tho pak, nanti kalau dia bangun saja baru ibu suruh sholat, wong dulu ustadz Hadi penah ngomong kalau sholat subuh kesiangan itu ndakpapa selama ndak disengaja.”
“Astaghfirullah, ibu ibu..”, Ayah hanya menggelengkan kepala dan pergi menuju surau di dekat rumah, Sedangkan aku masih menutup telinga dan melanjutkan mimpiku.
________________________________________________________________________________
Nampak dari kejauhan seorang pemuda yang sudah tak asing bagiku, kulihat dia menenteng beberapa botol arak (sejenis minuman keras).
“Ton, udah siap duel belum???” Tanyaku dengan nada meremehkan, maklumlah aku termasuk jagoan mabuk di antara anggota gengku.
“Sialan kau Ndra, udah kamu siapin belum tempatnya??” Anton merespons dengan mmik wajahnya yang khas, bayangkan wajah seorang pengangguran yang dompetnya kecopetan maka kamu akan melihat wajah Anton.
“Itu rumahku bisa dipake’, Ibuku lagi ke rumah budheku di Solo”
“Lha Ayahmu??”
“Itu mah Gampang, orang tua bisa diatur, macam-macam sikat”
“Okelah kalo begitu”
Langkah kami seakan diburu, “Sudah tak sabar duel minum nih”, batinku.
Sesampainya di rumah, kupasang posisi ternyaman dan ternikmat sambil sesekali menenggak arak di hadapanku.
Terdengar suara pelan dari dalam kamar ayah, “Ndra, bapak beliin obat di tokonya Bu Aji, kepala Ayah pusing”.
Aku tak peduli dengan permintaan Ayahku, tangan ini masih sibuk meraih gelas dihadapanku dan kulihat Anton mulai teler.
“Ton, Cemen lu, baru segitu udah teler”
“Sialan kau Ndra, $#$%%^$$”, suara Anton seperti piringan hitam yang sedang dimainkan sambil sesekali dijadikan Frisbee setelah itu kulihat ia berbaring.
Dan sekali lagi suara Ayah terdengar tapi lebih keras, “Ndra, bapak beliin obat ya!!”
“Obat apa yah?, obat kuat??. Hahaha..,” Jawabku asal-asalan.
“Ndak nak, beliin obat sakit kepala, Tolong ya”
“Yang sakit kepala Ayah kan??, bukan kakinya kan???, beli sendiri kan bisa.”
Tak lama kemudian Ayah keluar dan tak tahu lagi ia akan pergi kemana.
________________________________________________________________________________
Ilalang di sawah dan semilir angin membuat tubuh ini seakan melayang di antara kapas-kapas pohon randu yang kini beterbangan bersama angin di depanku,sesekali mulut ini menguap, tapi kantuk ini harus kutahan karena mungkin tak lama lagi orang yang kutunggu datang.
“Mas Chandra ya???”,Suara lembutnya tak berubah,masih sama seperti dulu.
“Dek Pendi ya??? Hahahaha”,Gurauku padanya.
“Ngawur sampean mas, gimana kabarnya??? Udah punya istri??” Pertanyaan yang menohok, walaupun aku ganteng tapi entah kenapa tak ada seorangpun yang mau aku nikahi.
“Alhamdulillah baik, kalau istri, ini di depan mata mas”. Godaku padanya, kulihat wajahnya memerah, mungkin karena kepanasan atau apalah aku gag tahu.
“Mas ini bisa aja, masa’ orang sehebat mas mau sama eks-PRT kayak Suci sih”, Begitu setrusnya obrolan kami tak berhenti, mulai dari kegiatan selepas lulus SMP hingga masalah Gayus di Balipun kami omongkan.
Ya, Suci adalah cinta pertamaku di SMP dulu, mungkin nasibnya tak sebaik aku yang mampu lulus S1 2 tahun lalu, dia hanya tamatan SMA kelas 2, yang aneh bagiku, kenapa dia belum menikah, padahal kebanyakan teman-temanku yang hanya ‘protolan’ SMA kurang dari 1 tahun ke’protolan’nya, mereka sudah menikah.
Tak terasa sudah hamper 2 jam kami mengobrol, hingga muncul sebuah pertanyaan, “Mas Chandra, gimana qiro’ahnya?? Masih sering juara??”
Aku pun berpikir, entah kapan terakhir kali aku membuka kitab suciku itu, aku lupa.
“Ehm..terakhir kali ya waktu kelas 1 SMA dulu, kamu inget kan??”
“Lho iya ta??, padahal dulu sudah se-provinsi ya”, kulihat wajah tak percaya di balik jilbab putihnya.
Aku pun menyudahi pembicaraan,“Ayo pulang yuk, sudah sore, bentar lagi sudah maghrib”
Maghrib, kata yang sepertinya sudah asing di telingaku namun kenapa harus muncul dari mulutku???, sejak saat itu, Suci menempati hatiku lagi.
________________________________________________________________________________
Jarum jam dinding menunjukkan pukul 13.00 dan aku masih sibuk dengan tugas kerja yang menumpuk di meja, hingga telpon berdering membuyarkan konsentrasiku.
“Hallo, disini Chandra, ada yang bisa dibantu???”
Terdengar suara lembut dari ujung telpon “Mas, aku dijodohkan” setelah itu terdengar suara gagang telpon dibanting ke tempatnya. “tut tut tut”.
Seakan puluhan ribu durian runtuh di kepalaku dan hati ini retak layaknya kaca yang disiram es dan air panas.
Aku bingung harus bagaimana. kuambil sebatang rokok untuk sedikit menenangkan pikiranku
________________________________________________________________________________
Kuberanikan diri melangkah menuju rumah bercat biru muda itu sendirian, kulihat seorang pria tua duduk di teras rumah itu. Dia tak lain dan tak bukan adalah Ayahku.
Apa yang ada di benakku adalah hal yang buruk, karena ayah tak pernah setuju aku mencintai Suci, entah kenapa.
“Ayah kenapa disini??’ Tanyaku dengan nada sedikit membentak.
“Ini lho ada urusan sama Pak Pendi kok” jawabnya tenang.
“Urusan apa??? Mau minta Pak Pendi melarang Suci ketemu aku?? Aku terus memburu Ayahku dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Sabar tho lhe, Ayah cuma pengen silaturahmi dengan Pak Pendi kok”
Aku pun terdiam dan pergi meninggalkan Ayahku, sekali lagi aku kecewa dengan Ayahku.
Niatku untuk memberanikan diri melamar Suci pun ku urungkan, karena pasti Ayah menolak dengan keras rencanaku.
________________________________________________________________________________
Jalanan menuju kantorku tampak tak seperti biasanya, tampak macet pagi ini, bayangan akan laporan kerja pun seakan terkikis dengan rasa capek dan gerah akibat macet ini, bahkan bungkusan nasi yang kubawa pun telah menjadi bungkusan biasa yang tak menggiurkan lagi bagiku.
Nampak di kejauhan aparat berpakaian coklat ditutupi rompi hijau cerah sedang mengatur lalu lintas, tak jauh dari tempatnya, terlihat olehku kerumunan manusia menatap nanar dan kasihan, entah apa yang sedang mereka tatap, aku pun tak mau tahu, karena itu bukan urusanku, saat ini yang ada di pikiranku hanya, “kapan bisa nyampe’ kantor??’, kulihat jam tanganku, sudah menunjuk angka 06:50, aku pun mulai menggerutu dan mencaci.
Ketika sampai di ujung jalan yang mulai lengang, ku tancap gas menuju tempat berfantasiku, kantor.
________________________________________________________________________________
Meja di tempat kerjaku masih seperti biasa, kertas bertumpuk dan jadwal rapat pun seakan memangkas waktu luangku, maklum perusahaanku sedang ada proyek besar, dapat tender membuat software anti mafia hukum, ketika ingin ku sandarkan bahu di kursi kerjaku, ponselku berdering melantunkan suara khas bang haji rhoma irama dengan petikan gitar mengiringi bergulirnya lagu Judi.
“Nak Chandra, Ayahmu nak, Ayahmu,” Suara wanita yang sudah paru baya terdengar lirih.
“Ini Siapa?? Ayahku kenapa??”
“Ini Bu Aji Nak, Ayahmu kecelakaan di ujung jalan waktu mau menyeberang beli obat”
“Keadaannya Gimana??”
“Ibu kurang tahu nak,Maaf”
“Trus Ayah dimana sekarang??”
“Tadi dibawa ke RS Harapan Ayah,ditemani pak ketut”
“Yauda Bu Makasih infonya, nanti pulang kerja saya kesana”
Obrolan kami tak berlangsung lebih lama karena bel ruanganku berbunyi, entah siapa yang datang kali ini.
Ternyata Ibuku datang dan tanpa dinyana kontan dia menangis histeris di atas meja kerjaku, dan aku hanya terpaku dan tak tahu akan berbuat apa, ibu yang kuanggap sebagai wanita kuat layaknya margareth thatcher, untuk pertama kalinya menangis di depan mataku, “Kenapa Bu???” Tanyaku keheranan,
“Ayahmu meninggal nak, barusan dan yang belum sempat Ibu kabulkan adalah kamu nak,”
“Innalillahi,Maksud ibu??”, aku masih setengah tak percaya, karena barusan ada yang member kabar kalau Ayah di RS,
“Ia memanggil namamu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya dan entah apa yang ia igaukan tentangmu Nak”
Aku masih tak percaya, “kok bisa bu, ibu gak bercanda kan??”
Sekali lagi ponselku berdering, “Assalamu’alaikum, Innalillahi Wa Inna ‘Ilaihi Raji’un, Nak, Ibu barusan dapat telpon dari Pak Ketut kalau Ayahmu meninggal.
Saat itu seakan bumi terbelah, hapeku terjatuh dari genggaman.
“Innalillahi Wa Inna ‘Ilaihi Raji’un” Suaraku lirih menahan kaget yang teramat sangat.
Setelah itu aku pun menangis dipelukan Ibuku,
________________________________________________________________________________
Mataku masih sembab, tak percaya dan merasa bersalah atas yang terjadi pada Ayahku, ya,hari ini tepat 7 hari meninggalnya beliau dan hari-hariku terasa berbeda, tak ada lagi sosok yang bertanya “darimana Nak??’, “Udah Sholat Nak??”, “Kamu gag istirahat dulu??”, dan aku merasakannya begitu sangat berbeda, aku kehilangan sosok lemah lembut itu, dan yang lebih memprihatinkan, Ibu yang biasanya setiap pagi menyiapkan teh hangat dan obat untuk Ayah, hanya termenung di atas kursi kayu favorit Ayah.
Untuk kali pertama setelah bertahun-tahun, aku membuka qur’an dan ku membaca surat luqman, tentang nasihatnya kepada anaknya, dan sekali lagi airmata ini menetes mengingat segala Nasihat Ayah yang tak pernah kudengar dulu.
Ya, Tak pernah kudengar memang, timbul penyesalan yang mendalam tentang segala hal yang berhubungan dengan Ayah, tentang permintaannya membeli obat.
Disaat lamunanku dan kenanganku menyeruak, aku terkejut dengan sebuah SMS dari Suci.
Sender : Suci Cute
Number : 085648639469
Date : 20-11-2010
Mas, Bapak selalu menekan aku tentang perjodohan, aku risau dengan perjodohanku, aku tak tahu menahu tentang jodohku, aku butuh keberanianmu mas. Aku menyayangimu karena ALLAH mas.
Semoga ALLAH menyatukan kita. Amieeenn,,,,
Sontak aku bimbang antara menangisi atau mencoba berusaha, demi Suci dan Aku. Tapi semangat ini sedang berada di bawah, apa yang harus kulakukan ya ALLAH???, sejenak aku berdiri dan menuju kamar mandi, aku ingin mendekat lagi padaNya, entah aku juga lupa kapan terakhir kali aku sholat dhuha.
________________________________________________________________________________
Pagi ini aku bersiap menuju rumah Suci, ada sedikit ganjalan di hati, seandainya nanti Pak Pendi marah atas kedatanganku apa aku harus melawan??? Atau aku harus pergi, lari dari cintaku??
Ahh, itu dipikir nanti saja, sekarang yang penting niatku baik. Selama perjalanan menuju rumah Suci, tak henti-hentinya aku berdo’a, semoga Suci adalah jodohku. Sesampainya di depan rumah Suci aku menghela nafas panjang, Namun yang mengagetkanku , Pak Pendi menyambutku dengan senyuman lebarnya.
“Alhamdulillah Nak, kamu datang, gimana kabarmu??” Ucap Pak Pendi membuatku semakin kaget dan bingung.
“Baik Pak, Alhamdulillah,” segala skenario yang kupersiapkan untuk menghadapi kemarahan Pak Pendi hilang seketika berganti kebingungan menghadapi keramahan Pak Pendi.
“Bapak Udah lama nunggu kamu datang, Bapak ikut berduka cita ya atas meninggalnya Ayahmu”
Dengan wajah sok tegar aku menjawab “ Ya Pak, makasih, doakan Ayah saya ya Pak”
“Pastinya Nak, Gimana kerjamu??”
“Alhamdulillah lancar Pak”, aku bingung mau bertanya apa, hanya kekakuan menggelamutiku.
Setelah Tanya ini itu, aku tersadar, tumben Suci tak muncul membawa nampan berisi teh hangat seperti dulu, aku memberanikan diri bertanya, “ Suci kemana pak???”
Dengan tenang beliau menjawab, “Wah, sudah gak sabar lihat calon istri ya???”
Aku semakin bingung, “Maksud bapak??”
“Lho kamu belum tahu ya??? Mungkin Ayahmu belum sempat bicara padamu”
Aku tak mengerti apa yang Pak Pendi katakan.
“Beberapa minggu yang lalu, aku dan Ayahmu bicara empat mata soal perjodohanmu dengan Suci, beliau bilang akan meminta kamu melamar Suci secepatnya, tapi ALLAH punya kehendak lain Ndra”
Tak terasa, airmata mengalir dari kedua mataku, berlinang melewati pipiku, aku menyesal dengan segala prasangka burukku ke ayahku dulu, semakin sakit hati ini mengingat dosaku kepada Ayahku.
Dengan berlinang airmata aku berkata pada Pak Pendi, “Pak, izinkan saya menikahi Suci minggu depan”
Pak Pendi tersenyum dan berkata “ALLAH mencintaimu Ndra”
________________________________________________________________________________
Tepat tanggal 12 desember, berhadapan dengan penghulu di hadapanku dan Suci, masih bersembunyi dibalik ruangan ini, ya, sebentar lagi dia akan menjadi pendampingku mendekatkan diri kepada ALLAH.
Saat yang mendebarkan itu datang, “Ananda Chandra udah siap???” Tanya sang penghulu padaku, aku hanya menganggukkan kepala tanda siap.
“Saya nikahkan Muhammad Chandra Bin Abdul Halim dengan Suci Indah Rahmawati binti Maulana Ependi dengan mas kawin uang 2 juta rupiah serta seperangkat alat sholat dibayar tunai”
“Saya Terima Nikah dan Kawinnya Suci Indah Rahmawati binti Maulana Ependi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”
Gemuruh para saksi berteriak “Saaahhhhhhhhhhh”
Aku tak sabar untuk malam ini pikirku.
Malam ini aku telah berjanji pada Suci, di malam pertama pernikahan kami, kami akan ziarah ke makam Ayah, dan berdo’a disana memohon restu Ayah yang tak sempat aku dengarkan dari suara lembutnya.
“Ayah, Jikalau engkau masih bersama kami, akan kami jadikan engkau sebuah lentera yang akan menjadi sarana penerang pernikahan kami oleh cahayaNya dan menjadi sarana penunjuk arah dalam masalah pernikahan kami di jalanNya. Ayah, kami berjanji pada diri kami bahwa namamu akan kami jadikan nama anak laki-laki pertama kami kelak.”
“YA ALLAH, jadikan ayahku penghuni surgaMu dan ibuku sebagai pelayan di surga untuknya, dan ampunilah dosa mereka sebagaimana cinta kasih mereka kepada kami disaat kami masih kecil”
TAMAT
Surabaya, 20 nopember 2010
27B @8A
19:08
Untuk Abah dan Bunda serta wanita yang suci hatinya
Mohon Sarannya Lagi..